Kalimantan Tengah, Scientia – Tahun 2019 dinyatakan sebagai Tahun Kelam bagi peladang tradisional. Hal ini disampaikan beberapa organisasi yang tergabung dalan Aksi Damai Solidaritas Peladang Tradisional Kalimantan Tengah, Selasa. (10/12)
Dengan banyaknya peladang tradisional yang menerapkan praktek-praktek kearifan lokal di Kalimantan Tengah menjadi tersangka pembakar lahan dan hutan. Sedangkan dari 20 Kasus Korporasi terkait Kebakaran Hutan dan Lahan Tahun 2019, baru dua perusahaan yang ditetapkan sebagai tersangka, yakni PT. Palmindo Gemilang Kencana dan PT. Gawi Bahandep Sawit Mekar.
Dari data diatas, kami melihat bahwa terdapat kesenjangan penegakan hukum oleh negara terhadap individu perorangan, Peladang dan Masyarakat Adat, dibandingkan terhadap korporasi.
Disampaikan Kasiadi dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Tengah kepada Scientia, kami menuntut seluruh peladang tradisional yang telah ditangkap supaya dibebaskan.
Tambah Kasiadi , supaya pihak legislator daerah Kalimantan Tengah supaya membentuk dan mengesahkan Peraturan Daerah Perlindungan Peladang Tradisional dan Perlindungan Masyarakat Adat.
“Kami menilai kriminalisasi terhadap para pedagang akibat lemahnya dan hampir tidak adanya payung hukum yang melindungi peladang tersebut”, tegas Kasiadi.
Melihat dinamika dan permasalahan tersebut semua lembaga yang terlibat aksi menyatakan “Negara belum Sepenuhnya Hadir bagi Masyarakat Adat dan Peladang Tradisional di Kalimantan Tengah” dan menyatakan sikap :
1. Menuntut kepada Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum untuk segera membebaskan semua Peladang Tradisional yang sedang menjalani proses hukum dan yang sudah ditahan, tanpa syarat.
2. Menegaskan kepada Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum untuk tidak lagi melakukan upaya kriminalisasi terhadap Peladang Tradisional mulai saat ini hingga akan datang.
3. Menegaskan kepada setiap orang bahwa Pembakaran Ladang bukan Pembakaran Hutan dan Lahan.
4. Menegaskan kepada setiap orang bahwa praktek-praktek berladang adalah upaya untuk mempertahankan hidup, tradisi dan budaya Dayak.
5. Menyatakan kepada Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum bahwa Pelarangan Berladang dengan menerapkan praktek-praktek kearifan lokal adalah salah satu bentuk penghancuran budaya dan tradisi Dayak.
6. Menegaskan bahwa praktek Perladangan Tradisional oleh masyarakat di Kalimantan Tengah merupakan bentuk kedaulatan kami terhadap pangan, konsumsi, ekonomi, sosial, budaya serta kedaulatan atas tanah dan ruang hidup kami.
7. Pemerintah harus menindak tegas dan transparan sesuai hukum setiap korporasi yang melakukan pembakaran hutan dan lahan pada areal konsesi izinnya.
8. Pemerintah harus segera mencabut izin-izin korporasi yang terbukti melanggar aturan (perizinan, pelanggaran pada praktek produksi, dan sebagainya).
9. Pemerintah harus segera mencabut dan/atau merevisi setiap regulasi terkait pelarangan berladang dengan kearifan local serta berbagai regulasi yang tidak kontekstual dengan masyarakat adat (Inpres No. 11 Tahun 2015, Surat Edaran Kapolri No. SE/15/XI/2016, dll).
10. Menegaskan kepada Aparat Penegak Hukum untuk mengimplementasikan amanat Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup agar tidak hanya mengacu pada Larangan di Pasal 69. Tetapi juga memahami secara jelas dan kontekstual Penjelasan Pasal 69 Ayat (2) pada UU tersebut.
11. Menuntut Kepada Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota di Kalimantan Tengah untuk segera membentuk dan mengesahkan Perda Perladangan Berbasis Kearifan Lokal Masyarakat Adat Kalimantan Tengah.
12. Menuntut Kepada Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota di Kalimantan Tengah untuk segera membentuk dan mengesahkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Dayak Kalimantan Tengah.
13. Menuntut Kepada Pemerintah Pusat untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat.
Dinyatakan di Palangka Raya Pada Tanggal 10 Desember 2019 dengan Dilampiri Petisi Tanda Tangan pada Selembar Kain Putih oleh seluruh peserta aksi.
Aksi ini dimulai sejak pagi jam 09.00 Wib Bundaran Besar Kalimantan Tengah. (rilis/AK)